Loading...
Jumat, 08 Desember 2023

JIKA TAK PUNYA CITA-CITA JADI YANG TERBAIK, MOHON DITUTUP SAJA!


Oleh: Dr. Adian Husaini

(Penulis Buku “Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi”)

Pada Hari Kamis (28/11/2019), saya berkesempatan mengisi acara diskusi tentang Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi, di Sekolah Tinggi Agama Islam PERSIS  (STAIPI) Garut Jawa Barat. Intinya, saya menguraikan buku yang saya tulis: Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi, (Depok: YPI Attaqwa, 2019). 

Judul artikel ini adalah seruan yang saya sampaikan kepada para dosen dan mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut. Intinya, saya mengajak agar kampus STAIPI Garut menjadi Perguruan Tinggi yang terbaik, minimal di Kota Garut. Indikatornya, para lulusan Madrasah Aliyah PERSIS (Persatuan Islam) yang terbaik di Kota Garut, akan menjadikan kampus STAIPI Garut sebagai tujuan utama kuliahnya. 

Kampus STAIPI Garut kini memiliki lima Program Studi (Prodi), yaitu Tafsir al-Quran, Hadits, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), dan Ekonomi Syariah. 

Dengan kampus seluas sekitar 1 hektar, STAIPI Garut tampak cukup memadai sebagai satu lembaga pendidikan tinggi. Biaya kuliah pun cukup terjangkai. Menurut seorang dosennya, biaya kuliah sekitar 1-2 juta per semester. Ini sangat murah. Anak saya kuliah di satu Perguruan Tinggi Negeri di Bogor harus membayar sekitar Rp 5 juta/semester. Padahal, ini PTN, yang dosen-dosennya digaji pemerintah. 

Mengapa biayanya semurah itu? Mengapa untuk belajar al-Quran, hadits, ekonomi Islam, Pendidikan Islam, harus dihargai semurah itu? Anak saya pernah kuliah Sastra Inggris selama setahun di satu universitas swasta di Depok. Biayanya, Rp 10 juta per semester.

Mengapa untuk belajar bahasa Inggris orang mau bayar mahal, sedangkan untuk belajar ulumuddin, maunya bayar murah, atau minta gratis? Padahal, jika anak itu kuliah di Fakultas Kedokteran, mungkin orang tuanya mau jual tanah atau properti lainnya, demi membiayai kuliah anaknya. Tapi, begitu kuliah di kampus Islam, mintanya murah atau gratis. 

Mengapa kampus Islam dipandang kurang kualitasnya, sehingga anak-anak SMA/Aliyah yang terbaik di lingkungan Yayasan Pendidikannya sendiri, enggan melanjutkan kuliah di kampusnya sendiri. Sebab, dianggap kurang bergengsi atau kurang prospektif untuk memasuki lapangan kerja yang dianggap bergengsi – maksudnya, lapangan  kerja yang menghasilkan banyak uang.

Tapi, jangan menyalahkan persepsi orang tua atau pelajar yang belum menjadikan kampus Islam sebagai tujuan utama kuliah mereka. Sebab, dalam beberapa hal, itu berawal dari cara pandang pimpinan dan dosen-dosen kampus Islam itu sendiri. 

Satu saat saya memasuki satu komplek Pesantren. Di komplek itu ada jenjang pendidikan, mulai TK sampai Perguruan Tinggi. Begitu memasuki halaman pesantren itu, tampak sebuah spanduk besar bertuliskan: “PARA LULUSAN SMA …. YANG DITERIMA DI PERGURUAN TINGGI NEGERI.”

Kepada pimpinan pesantren dan dosen-dosen di kampus itu saya sampaikan, mengapa Anda tidak mencantumkan (membanggakan) lulusan-lulusan SMA sendiri yang memasuki kampus milik pesantren itu? “Berarti anda tidak bangga dengan kampus Anda sendiri?” begitu saya sampaikan.

Di berbagai pesantren atau lembaga pendidikan tinggi Islam, hampir selalu saya tanyakan, mengapa anak-anak SMA kita yang pandai-pandai belum menjadikan kampus kita sebagai tujuan utama kuliah mereka? Apa yang salah dengan kita? Jika kita sendiri saja tidak percaya, bahwa kampus kita adalah yang terbaik, apalagi orang lain? 

Karena itulah, saya mengajak kampus-kampus Islam itu tidak terjebak ke dalam pola pikir yang menjadikan “daftar ranking” yang beredar di masyarakat, sebagai kriteria utama penentuan kampus terbaik. Sebab, ranking kampus itu dibuat tanpa memasukkan kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia. Sedangkan kita – sebagai orang muslim – diajarkan oleh al-Quran dan Sunnah, bahwa manusia terbaik adalah yang beriman dan bertaqwa dan berakhlak mulia. 

Seorang dosen yang hadir dalam acara diskusi tersebut bertanya, “Bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri, bahwa kampus kita adalah kampus yang terbaik?”

Jawabannya: 

Pertama, konsep pendidikan yang kita terapkan haruslah merupakan konsep pendidikan Islam yang ideal. Yakni, adab mendahului ilmu dan proporsionalisasi pengajaran ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Jangan terjebak kepada linierisme dan formalisme sempit. 

Sesuai tujuan satu universitas – dari bahasa Arab ‘kulliyyah’ – maka tujuan kampus Islam adalah membentuk manusia yang sempurna, manusia yang baik, manusia pejuang. Bukan sekedar orang yang bisa cari makan. Monyet saja bisa makan tanpa kuliah! 

Kedua, terapkan standar kompetensi lulusan yang diperlukan untuk eksis dan bahkan unggul di era disrupsi, seperti kemampuan public speaking, ketrampilan menulis, bahasa Inggris, dan Teknologi Informasi. Apapun jurusan atau prodinya! 

Ketiga, harus bekerja keras menghasilkan lulusan-lulusan yang unggul, dalam berbagai bidang kompetensi. Tidak mesti semuanya pintar. Tapi, jangan meluluskan mahasiswa yang tidak memenuhi standar kompetensi hal-hal yang fardhu ain. Misalnya, yang akhlaknya buruk, yang belum bisa mengaji dengan benar, tidak shalat lima waktu dengan benar, durhaka kepada orang tua, pendusta, dan sebagainya. 

Dalam hal akhlak mulia, misalnya, Nabi kita saw mengajarlan doa: Ya Allah, hindarkanlah aku dari sikap malas dan lemah (‘ajz wal-kasal).  Kita berdoa terus, tetapi tetap malas. Sedangkan orang Jepang, Korea, dan sebagainya, mereka begitu rajin bekerja dan tidak malas. Maka, wajarlah, yang bekerja keras dan tidak malas akan menuai hasilnya.

Di akhir acara diskusi, saya menawarkan agar dalam lima tahun ke depan, STAIPI Garut harus menjadi kampus terbaik di Jawa Barat. InsyaAllah, nanti, para siswa SMA terbaik – minimal di kota Garut – akan memilih STAIPI Garut sebagai tujuan utama kuliahnya. Tidak lagi menjadikan kampus-kampus terkenal di Jawa Barat sebagai tujuan utama mencari ilmu.

“Yakinlah, jika konsep iman, taqwa, dan akhlak mulia dijabarkan dalam sistem dan kurikulum pendidikan kita, insyaAllah kampus kita akan menjadi kampus terbaik!” saya mencoba meyakinkan. 

Dan, sekali lagi, siapa pun kita, jika kita tidak ingin lembaga kita menjadi yang terbaik, maka saya usulkan, lebih baik lembaganya ditutup saja. Sebab, perintah Allah, kita harus menjadi umat terbaik (khaira ummah), yang memimpin umat manusia! 

Dan kini, di era disrupsi, peluang bagi lembaga pendidikan Tinggi Islam untuk menjadi kampus terbaik sangatlah besar. Itu karena penanaman adab dan akhlak mulia tidak bisa digantikan oleh teknologi. Juga, saat ini, semua lembaga, besar atau kecil, mempunyai peluang yang sama untuk ‘menjual’ produknya. 

Masalahnya, yakin dan berani, atau ragu dan takut? 

Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 29 November 2019).

#manqul

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP