Amar ma’ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat
Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu
kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.
Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut adalah fardhu
‘Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az
Zujaaj, Ibnu Hazm. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya:
1. Firman Allah,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran:104)
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk
menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu:
وَأُوْلاَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang
melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya
fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib ‘ain
juga. Karena dalam kaedah disebutkan:
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu,
maka sesuatu itu hukumnya wajib.
2. Firman Allah,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik. (Ali Imran :110)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan syarat bergabung dengan umat
Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma’ruf nahi mungkar dan iman. Padahal
bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu ‘ain. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى
مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,”Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surat Fushilat :33)
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”
Sedangkan pendapat kedua memandang amar ma’ruf nahi mungkar
fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang
menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash, Al-Mawardiy, Abu Ya’la
Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy, Ibnu Qudamah, An-Nawawiy,
Ibnu Taimiyah, Asy-Syathibiy dan Asy-Syaukaniy. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil
berikut ini:
1. Firman Allah :
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran:104)
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga
menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.
Imam Al Jashash menyatakan,”Ayat ini mengandung dua makna.
Pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika
telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban”.
Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan
hukum amar ma’ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain”
2. Firman Allah :
وَمَاكَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ
طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)
Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu
kifayah. Karena Allah memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya
untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu
tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum
muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.
Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,”Sepatutnya kaum
muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka.
Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak
bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah
dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan
dunianya”
3. Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi
mungkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu.
Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar makruf nahi mungkar,
cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi
orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah.
Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema’rufan atau berbuat keras
pada saat harus lembut dan sebaliknya.
4. Firman Allah :
الذِّيْنَ
إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ
وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلهِ عَاقِبَةُ
اْلأُمُوْرِ
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka
di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allahlah kembali segala urusan. (QS. 22:41)
Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua orang diteguhkan
kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah
kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya. Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu
Taimiyah menyatakan,”Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak
diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah”
Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya
seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena
terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban
tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya
oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.
Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan
dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang
yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku fardhu ‘ain hanya menghilangkan
dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa
dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu ‘ain jika
ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika
ditinggalkan akan berdosa seluruhnya. Pendapat ini Insya Allah pendapat yang
rajih. Wallahu a’lam.
Bisa Jadi Fardhu ‘ain
Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu ‘ain, menurut
kedua pendapat diatas, apabila :
Pertama. Ditugaskan oleh pemerintah. Al Mawardi
menyatakan,”Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar fardhu ‘ain dengan
perintah penguasa”.
Kedua. Hanya dia yang mengetahui kema’rufan dan kemungkaran
yang terjadi.
An Nawawiy berkata,”Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia”.
An Nawawiy berkata,”Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia”.
Ketiga. Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki
orang tertentu.
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka.
An Nawawi berkata,”Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema’rufan”.
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka.
An Nawawi berkata,”Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema’rufan”.
Keempat. Perubahan keadaan dan kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”
Kaedah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan
keistimewaan umat Islam yg akan mempengaruhi kemulian umat Islam.
Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik. (Ali Imron :110)
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum
munafikin dengan hal ini. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(At-Taubah:71)
Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah menjelaskan, umat islam adalah umat
terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik
kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan
kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan
jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang
sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada
semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran. Merekapun
tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad.
Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad
untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim
berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk
amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa,
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah
ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut
kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai
Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa.
Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar
daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”.
Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah
telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu
gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya
selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama
Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja”. (Surat Al-Maidah : 21-24)
Demikian pula firman Allah, “Apakah kamu tidak memperhatikan
pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata
kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami
berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,
”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan
berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah,
padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari
anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun
berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang dzalim.
Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta
anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah.
Sehingga tidak dihalalkan begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak
boleh mengambil budak-budak tawanan perang”.
Demikianlah anugerah Allah kepada umat Islam. Dia menjadikan
amar ma’ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah. Bahkan
beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah,
الذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ
الأُمِّي الذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ
وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ
عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ
مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al- A’raaf :
157).
Kemudian Allah menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi
tugas utama Rasulullah ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya,
dalam firman-Nya,
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al-Imron:104)
Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat.
Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan
penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak
masa Rasulullah sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi LC
0 komentar:
Posting Komentar